“InsyaAllah
mbak, besok pagi saya akan berangkat dari rumah” jawabku via telepon pada
seseorang di seberang sana. Foto kami masih
tergantung di dinding kamar ruang kerjaku, berjajar dengan foto pernikahanku.
Empat gadis muda yang tersenyum manis dengan gayanya sendiri-sendiri. Senyum
yang selalu terkenang dan selalu mengesankan, bisik hatiku.
Seperti
mengorek kembali masa lalu, ketika masih bersuka ria dengan dunia Mahasiswa.
Ketika kami sama-sama merenda mimpi dan memperjuangkan cita, cinta dan
idealisme. Ketika saling memantapkan hati menghadapi kegalauan-kegalauan yang
silih berganti, bahkan kegalauan yang bersamaan menimpa kami. Dan ketika
akhirnya kami harus menempatkan hati dan memposisikan diri mengikuti takdir
Illahi.
Entah sejak kapan
istilah rempong itu melekat pada kami. Entah siapa pula yang memberikan sebutan
itu pertama kali.
“merah aja ya”
“hijau aja mil,
biar seger diliatnya”
“kalau hijau ya
kagak panteslah mak, mending warna yang agak soft aja deh”
Perdebatan kami
tak berujung pada sebuah keputusan final. Padahal hanya menentukan warna pada
logo yang sedang dalam proses pembuatan. Warna-warna itupun hanya berdasar
selera kami saja, bodo amat dengan makna filosofisnya, yang penting ada bentuk
dan rupanya dulu baru dimaknai. Pembuatan logo itu diserahkan pada yu Mil. Yu
Mil adalah teknisi kami, dia jagonya otak-atik komputer, apapun bisa
diselesaikan kalo diserahkan padanya dan hasilnyapun maksimal tidak akan mengecewakan.
Satu lagi yang khas dari yu Mil adalah kerendahan hatinya, tak pernah
sedikitpun menonjolkan kemampuannya. Layar laptop yu Mil sudah menyala
berjam-jam menunggu keputusan dari kami, merah, hijau atau ada pilihan yang
lain.
Malam sudah
larut, tak ada lagi kebisingan-kebisingan suara manusia selain kami berempat.
Semua mata sudah terpejam, terlelap dalam pekat malam yang mendamaikan. Tetapi
kedamaian itu belum berlaku pada kami, orang-orang yang selalu ingin sebuah
kesempurnaan, dengan ego dan imajinasi yang tersembunyi dibalik tempurung
kepalanya masing-masing. Tiga kali bunyi jam dinding berdentang, pertanda
sebuah keputusan sudah harus ada untuk menyelesaikan sebuah logo, hanya sebuah
logo.
“ya udah mil,
buat aja sepantesnya, kalau harus menyatukan pendapat kita, kagak bakal jadi
deadline malam ini.” Mbak Wir yang sedari tadi diam menengahi debat warna
antara aku, yu Mil dan Mak El. Bagi kami Mbak Wir adalah seorang perempuan tulen yang selalu tampil anggun dan
feminin, tetapi tidak masuk tipe perempuan lemah dan cengeng. Secara aklamasi
kamipun mengiyakan usul Mbak Wir yang lemah lembut itu.
Pada sepertiga
malam itulah logo sebuah bimbingan belajar terbentuk. Qoni’a Course, nama yang
cukup simple memang untuk sebuah lembaga bimbingan belajar. Nama yang belum
bisa disejajarkan dengan bimbel-bimbel mentereng yang sudah bercabang di banyak
kota. Qoni’a sendiri mengandung filosofis yang dalam, terinspirasi dari ngendikane
abah Yai kami ketika ngaji ‘aza man Qoni’ yang arti jawanya adalah terimo
ing pandum (menerima apa yang menjadi bagiannya). Sering orang berkata,
nama adalah do’a, begitu pula dengan Qoni’a. Dengan nama itu semoga kami bisa
mengontrol ego dan ambisiusme yang sering kali tak terkendali, atau bisa
diistilahkan mengontol nafsu dan logika kami. Supaya kami juga bisa menjadi
orang-orang yang senantiasa bersyukur dengan apa yang menjadi bagian kami dalam
hidup. Termasuk bersyukur atas mimpi, cita dan cinta kami.
“Malam ini kita
cukupkan sekian rapat Qoni’anya, alhamdulillah setidaknya sudah ada hasil
sebuah logo untuk bimbel kita. Semoga logo ini bisa menjadi sarana awal
perjuangan kita menumbuhkan
Qoni’a.” Kata penutup dari Mak
Ela, sosok yang menjadi ketua rintisan
bimbel ini. Mantan lurah pondok yang semakin mantap jiwa kepemimpinannya
setelah berakhir masa baktinya. Istilah dari Mbak Wir, Mak El adalah tipe
strukturalis1.
Keberhasilan
itu memang butuh perjuangan panjang, dan sangat mahal nilainya. Lebih mahal
dari segunung emas. Waktu dan jarak mau tidak mau harus memisahkan kami. Belum
pula Qoni’a bisa berjalan, kami harus bubar jalan tidak bisa bersama-sama lagi.
Berpisah satu sama lain mengikuti suratan Tuhan untuk diri masing-masing.
Qoni’a baru sebuah logo ketika kami harus meninggalkannya. Membiarkannya
tergantung tanpa campur tangan kami lagi. Sikon belum memungkinkannya untuk
tumbuh apalagi berkembang.
Perbincangan kami
terputus, kerempongan nyata kami terhenti. Rintisan kami mendirikan sebuah
lembaga bimbingan belajar Qoni’a Course kini hanya tinggal sejarah, sejarah
yang telah terekam oleh malam-malam sunyi. Kini malam itupun benar-benar
menjadi malam-malam sunyi bagi kami. Dalam sendiri, tanpa diskusi-diskusi
tentang mimpi, planing masa depan, cita dan cinta kami, dan yang paling utama
adalah mimpi membesarkan Qoni’a bersama-sama. Kenangan yang selalu kuingat
tentang kami adalah kebiasaan merencanakan segala sesuatu selalu berantakan,
tetapi ada banyak hal yang kami lakuakan tanpa perencanaan menjadi berhasil.
“Bundaaa,
maenan adek mana?” suara cadel itu mengembalikanku pada duniaku sekarang.
“oh iya adek,
bentar ya bunda ambilkan,” kataku sambil menuntunnya keluar kamar kerjaku.
Keputusan untuk
meniti karir di rumah memang mendilemakan awalnya. Secara pribadi, jiwaku
adalah jiwa sosial yang senang berinteraksi dengan banyak orang. Beruntung,
suamiku mengerti diriku sepenuhnya, termasuk impian-impianku. Meski bekerja di
rumah tak menghalangiku untuk tetap berkarya dan mengamalkan ilmu. Selang
setahun setelah menikah berdirilah sebuah yayasan bernama el-Qoni’, pesantren
wirausaha yang didalamnya juga bernaung Qoni’a Course. Pesantren Wirausaha pertama
di kota solo. Terletak di pinggiran kota Solo dekat dengan pegunungan, yang
jauh dari hirur pikuknya keramaian kota. Dan persis disamping pesantren itulah
letak istana keluargaku, tempat kami bernaung.
Lima tahun
bukanlah waktu yang sebentar untuk menahan sebuah kerinduan. Esok pagi adalah
hari spesial buat kami yang akan dipertemukan kembali. Bandara Soekarno-Hatta
akan menjadi bagian sejarah kerempongan kami. Aku dari Solo, Mak Ela dari
Bandar Lampung, Yu Mil dari Kediri dan Mbak Wir sebagai tuan rumah sudah
mengurusi keperluan keberangkatan kami, termasuk tiket pesawatnya. Karena Mbak
Wir ikut suaminya menetap di Tangerang.
Interaksi yang
selama ini hanya melalui HP dan Social Media, akhirnya berujung pada pertemuan.
Tidak lagi memepertemukan empat orang
saja, tetapi empat keluarga kecil. Entah bagaimana awalnya, Allah sudah
mengatur segalanya. Masing-masing dari kami mendapat kesempatan terbang ke
Belanda dalam tenggang waktu yang sama. Yu Mil dan suaminya yang sama-sama
dosen akan mengikuti seminar Internasional yang di selenggarakan oleh salah
satu Universitas terkemuka di Belanda, sebagai delegasi dari kampus tempatnya
mengajar. Mbak Wir yang memiliki selera unik terhadap banyak hal dan suka
banget dengan bunga tulip mendapatkan tiket ke Belanda untuk mewakili Indonesia
dalam rangka lomba fotografi and the best quote yang bertema Tulip. Mak Ela
yang sukses dengan wirausahanya bersama suami terbang ke Belanda dalam rangka
pengembangan bisnis.
Bagiku, semua
ini seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Aku bisa berkunjung ke negeri kincir
angin itu akhirnya. Bukan menikmatinya sendiri, tetapi bersama keluargaku dan
sahabat-sahabat rempongku yang telah banyak memberi warna dalam kanvas hidupku.
Subhanallah, skenario Allah begitu indah buat kami. Ana uridu, anta turidu,
wallahu yaf’alu ma yuridu.
Tangerang,17022014