Tulip

Tulip

Minggu, 18 Januari 2015

Kaledioskop 2014

Menyibak kembali halaman demi halaman 2014 yang sudah genap setahun terlampaui. Tahun yang teramat istimewa dengan semua tetek bengek yang terjadi di dalamnya. Starting poin mengenal diri dalam kehidupan yang sesungguhnya, menjadi aku yang seutuhnya. Banyak tinta yang tertuang dalam lembar demi lembar 2014. Semuanya komplit teracik menjadi komposisi yang sempurna. 

Memori bersama orang-orang tersayang tersimpan rapi dalam folder yang bernama kenangan. Kepada mereka, orang-orang yang sudah menjadi bagian dari memori itu kuucapkan terima kasih untuk semuanya. Guru, orang tua, sanak saudara, sahabat, dan juga orang-orang yang pernah menjadi sosok spesial di 2014 ini, sekali lagi aku berterima kasih pada kalian. Tanpa kalian apalah artinya aku. Kalian dikirimkan disekililngku atas izin Tuhan. 

Bukan suatu hal yang kebetulan ketika aku mengenal kalian, tapi semua itu adalah rencana Tuhan yang tak pernah kita nyana dan rencanakan. Selalu ada pelajaran dari setiap pertemuan, selalu ada kenangan dari setiap perpisahan dan selalu ada hikmah dari setiap kejadian. Aku bersyukur Tuhan mengirimkan kalian padaku, orang-orang istimewa yang secara langsung ataupun tidak menuntunku untuk semakin mengenal diriku sendiri. 

2014 tahun ujian, evalusai dari semua nikmat yang telah dicurahkan Tuhan. Kesabaran yang menjadi tameng terkadang hampir tak mempan. Nasihat demi nasihat mengendap di dasar permukaan. Mosi tidak percaya pun melayang pada beberapa orang. Ya, ujian itu beruntun tanpa jeda, rasa capek hati dan pikiran mengintai menuju keputusasaan. Sampai pada akhirnya penolong itu datang, menghadirkan kembali bara mimpi yang hampir padam. Meski harus kembali pergi meninggalkan luka yang semakin dalam. Setidaknya bara itu masih menyala hingga kini dalam terpaan angin dan hujan yang belum juga berhenti. Akan tetapi Tuhan memberikan kado spesial di tahun 2014, Qoni’@. Sebuah impian yang mulai menjadi kenyataan. Itulah kehidupan, kedatangan pasti disertai kepergian. Kesukaran diikuti kemudahan. Tinggal bagaimana kita menikmatinya. Menjadi madu atau jamu yang keduanya sama-sama menyehatkan.
Mari menutup 2014 dengan senyuman. Mohon maaf atas semua kesalahan, melapangkan hati untuk selalu memaafkan. 2014 sudah berlalu, biarlah menjadi sejarah dan pengalaman untuk bekal di masa yang akan datang. Mari membuka lembaran baru, semoga di tahun 2015 Tuhan memudahkan semua jalan. Mimpi itu tidak hanya mimpi-mimpian, cita itu tidak lagi cita-citaan dan cinta itu tidak sekadar cinta-cintaan.
read more

Minggu, 09 November 2014

Intinya hanya Dua Kata

Ada suatu masa ketika seorang manusia harus menghadapi ujian kualitas hidupnya. Allah Maha Rahman dan Rahim, betapa sayangnya Dia kepada setiap makhlukNYA. 

DIA tak pernah melewatkan sedetikpun untuk memperhatikan tingkah polah kita. Dan Dia pulalah yang tak membiarkan hamba-hambaNya jauh dari rahmatNya. Ribuan kali, bahkan milyaran kali ucapan syukur itu kupanjatkan tak akan pernah mampu menandingi segala nikmat yang dilimpahkanNya.

Aku memang belum mengerti betul bagaimana mekanisme kerja Allah dalam mengatur jagad raya ini, termasuk menentukan segala hal ihwal yang terjadi pada manusia. Dalam diam aku belajar, mencoba memahami segala sesutau yang telah ada dari beberapa hal yang kualami sendiri, dan belajar kukaitkan sedikit-sedikit dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang kuketahui maknanya.

Janji Allah tidak pernah teringkari, semuanya terbukti. Apa yang di FirmankanNya dalam Al-Qur’an semakin nyata dalam kehidupan ini.

Sejatinya seluruh alur kehidupan manusia adalah nikmat yang sempurna. Adakalanya nikmat itu berwujud nikmat sesungguhnya, yang identik dengan kebahagian, kekayaan, dan hal-hal yang menyenangkan. Tetapi adakalanya pula nikmat itu berwujud dalam ujian, musibah, kemelaratan dan hal-hal yang secara kasat mata adalah penderitaan. 

Perlu digaris bawahi disini bahwa semua itu adalah nikmat, karunia Allah yang tiada tara tergantung bagaimana kita menyikapinya. Tak ada jaminan orang kaya bahagia, atau orang miskin hidupnya sengsara. Tak ada yang menjamin pula orang sehat lebih banyak amalnya dari pada orang sakit. Kembali lagi semua itu tergantung individu masing-masing.

Aku mencoba mengurai kisahku sendiri, tentang perjalanan hati yang bagiku memang sebuah ujian paling berat dalam hidupku sampai hari ini. Tawa, tangis itu benar-benar saling beriringan silih berganti. Dia tak membiarkanku terlalu lama dalam tawa yang ternyata setelah kuanalisa kondisi tersebut acapkali membuatku terlena dan jauh dariNYa. 

Ada sebuah ayat di salah satu surat dalam juz 30 yang aku lupa bunyinya, pada intinya menjelaskan bahwa tawa dan tangis itu adalah dari sisi Allah ta’ala. Sekali, duakali aku tak terlalu ngeh dengan ayat tersebut. Tetapi dengan rentetan kejadian yang menimpaku beberapa kali dan renungan-renungan panjang yang kulakukan dalam diam, ternyata begitulah benarnya. Tangis demi tangis itu sebenarnya bukanlah hal yang perlu diratapi. 

Pola yang terjadi padaku sebagai manusia awam adalah ketika tawa itu menyapa aku akan mudah terlena dan melupakanNya, tetapi ketika tangis itu kembali menghampiri, jiwa ragaku tetap akan menuju padaNya berkeluh kesah dengan semua hal yang terjadi dalam tangis itu. Memohon kekuatan untuk menjalaninya. 

Asal tahu saja, Allah selalu mempunyai rencana indah dari segala hal yang kita anggap derita. Keistimewaan terletk pada tawa setelah tangis, tawa itu pasti lebih terasa feelnya. Dan grade feel itu juga tergantung dari grade tangis yang kita hadapi dan dari cara kita melewatinya.

Ketika kita mengalami suatu masa dengan kondisi tangis, orang yang mengetahui itu pasti menasihati kita untuk bersabar. “Sabar ya” itulah kalimat yang sudah sangat familier sekali di telingaku akhir-akhir ini. Kata Sabar memang gampang diucapkan, tetapi mengaplikasikan sabar dalam menghadapi tangis itu tak semudah ketika lidah mengucapkan. 

Menurutku sabar itu bagai langit, yang tak ditemukan dimana ujung dan tepinya. Sabar itu tak mengenal batas, istilah “sabar ada batasnya” bukanlah sabar namanya. Sabar itu juga bukan pesimis, yang hanya pasrah pada keadaan. Sabar itu menuntut untuk selalu optimis, berkhusnudzon dengan hari esok. Karena Allah sudah menjamin kesabaran itu akan berbuah manis. 

Jangan pernah menanyakan sampai mana batas kesabaran atau bahkan kapan buah sabar itu akan ada. Yang perlu kita lakukan adalah merawat kesabaran yang kita punya dengan ikhlas. Dan akhirnya sabarlah yang akan mendatangkan sebuah keikhlasan. Sabar dan ikhlas, kunci utama dalam menjalani kehidupan ini. 

Ketika kedua hal tersebut sudah mendarah daging dan menulang sumsum tak ada lagi yang namanya tangis dalam derita, tangis itu pun akan menjadi tawa bahagia.

Apapun yang terjadi, ketika hati bisa mensyukuri, dengan sabar dan ikhlas menjalaninya, semua itu akan nampak indah dirasakan. Bukan lagi karena apa-apa dan siapa-siapa, tetapi karena Dia yang Maha Sempurna. Kebahagian sejati adalah kondisi ketika hati merasa tentram dan nyaman dalam dekap keridloaanNya. 

(Jepara, 16102014)
read more

Rabu, 10 September 2014

Rasaku...

Rasaku,
ungkapkan tentang merah jambu padamu
mampukah aku untuk lakukan begitu
seperti kala itu, sudah kupasrahkan rasaku
pada sebuah hati yangbenar pikirku

Rasaku membatu, mulutku membisu
kelu,
ada luka yang menganga
perih,
hati yang tak lagi seperti dulu,
sejenak-sejenak meragu

Rasaku,
yang tak kumau



read more

Selasa, 02 September 2014

Derap1

Terkadang kita harus menerima akibat dari kesalahan yang tak pernah kita lakukan. Tak mudah memang melalui masa-masa itu, ketika pepatah "sudah jatuh tertimpa tangga pula" datang menghampiri kita. Tak bisa dipungkiri jika banyak air mata yang tertumpah, dan isakan pengibaan pada Allah di malam-malam yang heningpun dilakukan. Satu persatu seperti rentetan antrian gerbong kereta, masalah demi masalah itu datang. Pernah juga merajuk pada Allah, sebesar itukah dosaku gusti sampai kau coba aku dengan hal-hal seperti ini. Allahu karim
Satu persatu masalah itu pun berlalu, banyak hikmah itu kudapatkan. Dan ternyata Engkau juga menghadirkan surprise spesial, disaat aku benar-benar terjatuh dan terpuruk dalam jurang yang teramat dalam. Engkau mengirimkan malaikat tak bersayap itu, menemani setiap detikku dengan rasa yang sempurna. Meski belum kukenal sempurna siapa dirinya, tapi aku yakin dengan keindahan rencanaMu. Dan juga atas janji-janjiMu bahwa Inna ma'al 'ushri yusro disetiap kesukaran pasti ada kemudahan. Inilah mekanisme kerja Tuhan atas segala hal yang teradi pada Makhluknya. Senyum itu akan semakin manis terkembang, jika telah melewati banjir air mata dengan penuh perjuangan. Mudahkanlah urusan kami Rabb.
Kenyataannya, hidup bukan hanya memenuhi kepentingan pribadi, mencari kesenangan duniawi diri sendiri. Ada tanggung jawab yang rupanya menuntun kita untuk menjadi sosok makhluk sosial. Bagaimana saling berbagi suka dan duka itu dengan orang-orang yang ada di sekitar kita, terlebih keluarga dan sahabat. Orang-orang pilihan Allah yang selalu ada untuk melengkapi hidup kita di dunia. Pada dasarnya kebahagian sejati adalah ketika kita bahagia dan mampu membahagiakan mereka yang ada di sekeliling kita.
Mungkin perasaan lega itu sudah kurasakan, setelah banyak tragedi terlewati di tahun ini. Tetapi inilah kehidupan, Allah tak membiarkan kelegaan itu terlalu lama bersemayam. Suatu pertanyaan di pagi ini yang mengingatkanku bahwa hidup ini harus terus berpacu, belum berhenti disini dengan kelegaan semu. Masih banyak tanggung jawab yang harus dilakukan dalam peranku  sebagai perempuan, anak dan juga bagian masyarakat yang beradat. Sebuah kata, yang teramat sederhana tetapi sarat makna "Pernikahan".
read more

Sabtu, 30 Agustus 2014

‘Aza Man Qoni’

“InsyaAllah mbak, besok pagi saya akan berangkat dari rumah” jawabku via telepon pada seseorang di seberang sana. Foto kami masih tergantung di dinding kamar ruang kerjaku, berjajar dengan foto pernikahanku. Empat gadis muda yang tersenyum manis dengan gayanya sendiri-sendiri. Senyum yang selalu terkenang dan selalu mengesankan, bisik hatiku.
Seperti mengorek kembali masa lalu, ketika masih bersuka ria dengan dunia Mahasiswa. Ketika kami sama-sama merenda mimpi dan memperjuangkan cita, cinta dan idealisme. Ketika saling memantapkan hati menghadapi kegalauan-kegalauan yang silih berganti, bahkan kegalauan yang bersamaan menimpa kami. Dan ketika akhirnya kami harus menempatkan hati dan memposisikan diri mengikuti takdir Illahi.
Entah sejak kapan istilah rempong itu melekat pada kami. Entah siapa pula yang memberikan sebutan itu pertama kali.
“merah aja  ya”
“hijau aja mil, biar seger diliatnya”
“kalau hijau ya kagak panteslah mak, mending warna yang agak soft aja deh”
Perdebatan kami tak berujung pada sebuah keputusan final. Padahal hanya menentukan warna pada logo yang sedang dalam proses pembuatan. Warna-warna itupun hanya berdasar selera kami saja, bodo amat dengan makna filosofisnya, yang penting ada bentuk dan rupanya dulu baru dimaknai. Pembuatan logo itu diserahkan pada yu Mil. Yu Mil adalah teknisi kami, dia jagonya otak-atik komputer, apapun bisa diselesaikan kalo diserahkan padanya dan hasilnyapun maksimal tidak akan mengecewakan. Satu lagi yang khas dari yu Mil adalah kerendahan hatinya, tak pernah sedikitpun menonjolkan kemampuannya. Layar laptop yu Mil sudah menyala berjam-jam menunggu keputusan dari kami, merah, hijau atau ada pilihan yang lain.
Malam sudah larut, tak ada lagi kebisingan-kebisingan suara manusia selain kami berempat. Semua mata sudah terpejam, terlelap dalam pekat malam yang mendamaikan. Tetapi kedamaian itu belum berlaku pada kami, orang-orang yang selalu ingin sebuah kesempurnaan, dengan ego dan imajinasi yang tersembunyi dibalik tempurung kepalanya masing-masing. Tiga kali bunyi jam dinding berdentang, pertanda sebuah keputusan sudah harus ada untuk menyelesaikan sebuah logo, hanya sebuah logo.
“ya udah mil, buat aja sepantesnya, kalau harus menyatukan pendapat kita, kagak bakal jadi deadline malam ini.” Mbak Wir yang sedari tadi diam menengahi debat warna antara aku, yu Mil dan Mak El. Bagi kami Mbak Wir adalah seorang  perempuan tulen yang selalu tampil anggun dan feminin, tetapi tidak masuk tipe perempuan lemah dan cengeng. Secara aklamasi kamipun mengiyakan usul Mbak Wir yang lemah lembut itu.
Pada sepertiga malam itulah logo sebuah bimbingan belajar terbentuk. Qoni’a Course, nama yang cukup simple memang untuk sebuah lembaga bimbingan belajar. Nama yang belum bisa disejajarkan dengan bimbel-bimbel mentereng yang sudah bercabang di banyak kota. Qoni’a sendiri mengandung filosofis yang dalam, terinspirasi dari ngendikane abah Yai kami ketika ngaji ‘aza man Qoni’ yang arti jawanya adalah terimo ing pandum (menerima apa yang menjadi bagiannya). Sering orang berkata, nama adalah do’a, begitu pula dengan Qoni’a. Dengan nama itu semoga kami bisa mengontrol ego dan ambisiusme yang sering kali tak terkendali, atau bisa diistilahkan mengontol nafsu dan logika kami. Supaya kami juga bisa menjadi orang-orang yang senantiasa bersyukur dengan apa yang menjadi bagian kami dalam hidup. Termasuk bersyukur atas mimpi, cita dan cinta kami.
“Malam ini kita cukupkan sekian rapat Qoni’anya, alhamdulillah setidaknya sudah ada hasil sebuah logo untuk bimbel kita. Semoga logo ini bisa menjadi sarana awal perjuangan kita menumbuhkan  Qoni’a.”  Kata penutup dari Mak Ela, sosok yang menjadi ketua  rintisan bimbel ini. Mantan lurah pondok yang semakin mantap jiwa kepemimpinannya setelah berakhir masa baktinya. Istilah dari Mbak Wir, Mak El adalah tipe strukturalis1.
Keberhasilan itu memang butuh perjuangan panjang, dan sangat mahal nilainya. Lebih mahal dari segunung emas. Waktu dan jarak mau tidak mau harus memisahkan kami. Belum pula Qoni’a bisa berjalan, kami harus bubar jalan tidak bisa bersama-sama lagi. Berpisah satu sama lain mengikuti suratan Tuhan untuk diri masing-masing. Qoni’a baru sebuah logo ketika kami harus meninggalkannya. Membiarkannya tergantung tanpa campur tangan kami lagi. Sikon belum memungkinkannya untuk tumbuh apalagi berkembang.
Perbincangan kami terputus, kerempongan nyata kami terhenti. Rintisan kami mendirikan sebuah lembaga bimbingan belajar Qoni’a Course kini hanya tinggal sejarah, sejarah yang telah terekam oleh malam-malam sunyi. Kini malam itupun benar-benar menjadi malam-malam sunyi bagi kami. Dalam sendiri, tanpa diskusi-diskusi tentang mimpi, planing masa depan, cita dan cinta kami, dan yang paling utama adalah mimpi membesarkan Qoni’a bersama-sama. Kenangan yang selalu kuingat tentang kami adalah kebiasaan merencanakan segala sesuatu selalu berantakan, tetapi ada banyak hal yang kami lakuakan tanpa perencanaan menjadi berhasil.
“Bundaaa, maenan adek mana?” suara cadel itu mengembalikanku pada duniaku sekarang.
“oh iya adek, bentar ya bunda ambilkan,” kataku sambil menuntunnya keluar kamar kerjaku.
Keputusan untuk meniti karir di rumah memang mendilemakan awalnya. Secara pribadi, jiwaku adalah jiwa sosial yang senang berinteraksi dengan banyak orang. Beruntung, suamiku mengerti diriku sepenuhnya, termasuk impian-impianku. Meski bekerja di rumah tak menghalangiku untuk tetap berkarya dan mengamalkan ilmu. Selang setahun setelah menikah berdirilah sebuah yayasan bernama el-Qoni’, pesantren wirausaha yang didalamnya juga bernaung Qoni’a Course. Pesantren Wirausaha pertama di kota solo. Terletak di pinggiran kota Solo dekat dengan pegunungan, yang jauh dari hirur pikuknya keramaian kota. Dan persis disamping pesantren itulah letak istana keluargaku, tempat kami bernaung.
Lima tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk menahan sebuah kerinduan. Esok pagi adalah hari spesial buat kami yang akan dipertemukan kembali. Bandara Soekarno-Hatta akan menjadi bagian sejarah kerempongan kami. Aku dari Solo, Mak Ela dari Bandar Lampung, Yu Mil dari Kediri dan Mbak Wir sebagai tuan rumah sudah mengurusi keperluan keberangkatan kami, termasuk tiket pesawatnya. Karena Mbak Wir ikut suaminya menetap di Tangerang.
Interaksi yang selama ini hanya melalui HP dan Social Media, akhirnya berujung pada pertemuan. Tidak  lagi memepertemukan empat orang saja, tetapi empat keluarga kecil. Entah bagaimana awalnya, Allah sudah mengatur segalanya. Masing-masing dari kami mendapat kesempatan terbang ke Belanda dalam tenggang waktu yang sama. Yu Mil dan suaminya yang sama-sama dosen akan mengikuti seminar Internasional yang di selenggarakan oleh salah satu Universitas terkemuka di Belanda, sebagai delegasi dari kampus tempatnya mengajar. Mbak Wir yang memiliki selera unik terhadap banyak hal dan suka banget dengan bunga tulip mendapatkan tiket ke Belanda untuk mewakili Indonesia dalam rangka lomba fotografi and the best quote yang bertema Tulip. Mak Ela yang sukses dengan wirausahanya bersama suami terbang ke Belanda dalam rangka pengembangan bisnis.
Bagiku, semua ini seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Aku bisa berkunjung ke negeri kincir angin itu akhirnya. Bukan menikmatinya sendiri, tetapi bersama keluargaku dan sahabat-sahabat rempongku yang telah banyak memberi warna dalam kanvas hidupku. Subhanallah, skenario Allah begitu indah buat kami. Ana uridu, anta turidu, wallahu yaf’alu ma yuridu.

Tangerang,17022014
read more

Qoni'a Jepara

Qoni’a bagiku bisa diibaratkan seorang bayi yang dilahirkan oleh 4 orang bunda sekaligus. Tak lazim memang, tapi untuk sebuah pengibaratan apa salahnya. Masih teringat jelas memori masa itu, ketika kita berjuang bersama untuk melahirkan Qoni’a sang bayi. Kerempongan demi kerempongan kita lakukan, bahkan ambisi dan idealisme itu semakin menggebu ketika perdebatan sengit diantara kita terjadi. Bunda leader yang strukturalis, bunda kreatif yang perfeksionis, bunda teknisi yang menjadi katalis, dan entah aku bagian apa, mungkin komporis yang semakin menambah panas perdebatan. Dan akhirnya Qoni’a pun lahir di tengah-tengah kita. Aku yakin tak ada satupun diantara kita yang menyadari hari, tanggal dan pukul berapa secara resmi Qoni’a lahir di dunia ini, karena memang tak ada dokter, bidan, atau dukun bayi yang membantu proses kelahirannya. Ujug-ujug mak bedunduk langsung dibancai.

Menjadi seorang bunda yang harus mengasuh bayi ternyata susah-susah gampang, apalagi pada pengalaman pertama seperti yang kita alami. Meskipun bayinya cuma satu dan bundanya ada empat, kerempongan demi kerempongan masih saja hinggap pada masa pengasuhan Qoni’a. Kita mempunyai cita-cita yang sama, yaitu  bagaimana caranya agar Qoni’a sang bayi yang baru lahir itu bisa tumbuh dan berkembang dengan baik di masyarakat. Malam menjadi saksi diskusi-diskusi panjang yang kita lakukan, siang menjadi kamera perekam perjalanan kita mengenalkan sang bayi kepada masyarakat. Akan tetapi apa mau dikata, pertumbuhan Qoni’a terlalu lambat, bahkan dia butuh penanganan yang lebih intensif dari bunda-bundanya. Padahal bundanya adalah orang-orang rempong semua. Kita selalu berusaha bersama demi Qoni’a, karena kebersamaan itu semangat kita selalu terbakar. Sampai pada suatu masa stock bahan bakar untuk membakar semangat itu limit dan mengalami kelangkaan. Dan hal itu berakibat kurang baik pada Qoni’a. Kelangkaan bahan bakar itu menurunkan semangat kita, perhatian dan kasih sayang yang seharusnya Qoni’a dapatkan dari bunda-bundanya berkurang. Jiwa keibuan dan kesabaran kita di uji dengan situasi yang kurang mendukung ini. Tak ada maksud sedikitpun untuk menelantarkan Qoni’a yang baru lahir itu begitu saja, tetapi faktalah yang berkata. Kita ternyata belum layak menjadi bunda yang baik untuk Qoni’a, perhatian kita yang seharusnya untuk Qoni’a teralihkan dengan kesibukan masing-masing. Qoni’a pun hanya tinggal nama.
Rasa memang tak pernah bohong, apalagi rasa sayang seorang bunda pada anaknya. Kenangan bersama Qoni’a tak pernah lekang oleh waktu. Kita tidak pernah tahu rencana apa yang Tuhan takdirkan untuk kita, cita-cita dan do’a yang selalu kita sampaikan padaNya pada waktu yang tepat pasti diijabah, meski harus diuji dulu dengan situasi-situasi yang kurang mengenakkan hati. Dengan Izin Allah tepat tanggal 10 Agustus 2014 lahirlah bayi Qoni’a di Jepara. Kelahiran yang sudah direncanakan, kuselisihkan sehari dengan ulang tahun adikku supaya lebih mudah mengingatnya. Nama dan cita-cita itu masih seperti Qoni’a bayi kita bersama. Disaat teman-teman sebayaku sudah berbahagia menimang bayinya, aku pun juga bisa berbahagia dengan menimang-nimang bayiku yaitu Qoni’a. Perhatian dan kasih sayang kufokuskan padanya. Aku dibantu beberapa keluarga dan teman yang ada di Jepara berusaha untuk menjadikan Qoni’a sosok yang baik di masyarakat Jepara. Ide, masukan dan saran semuanya kutampung dalam wadah yang sangat besar untuk selanjutnya kusortir dengan meminta pertimbangan orang-orang spesial.
Aku dan Qoni’a yang masih bayi itu sama-sama baru mempelajari masyarakat disekiling.Tentang sosio culture, pola hidup, kebiasaan, norma dan segala tetek bengek yang ada disini. Tak mudah memang hidup di antara masyarakat yang heterogen, tapi mau tidak mau harus dijalani karena itu adalah proses. Berkat dukungan dan bantuan keluarga dan teman-teman, kini Qoni’a sedikit demi sedikit dikenal masyarakat, meskipun masih dalam lingkup yang sangat kecil. Tak ada kemewahan, fasilitas juga masih pas-pasan, semua terbalut dalam kesederhanaan. Kita berharap, Qoni’a bisa tumbuh dan berkembang dengan baik, mampu memberi manfaat dan warna yang lebih indah di masyarakat Jepara. Meskipun baru lahir Qoni’a harus bisa mandiri dan berpegang teguh dengan apa yang menjadi prinsip hidupnya “’Aza man Qoni’” (terima ing pandum). Sehingga aku sebagai bundanya tidak harus selalu bersama didekatnya, karena aku sadar pada masanya nanti seorang wanita harus mengikuti suami sebagai wujud pengabdian dirinya pada Allah SWT. Mulai sekarang sudah kubiasakan dia dengan orang-orang terdekat yang akan mengasuhnya ketika diriku secara fisik tak bersamanya.
Untuk para bundanya Qoni’a yang tidak lain adalah sahabat sekaligus guru-guruku, mohon do’anya untuk pertumbuhan Qoni’a Jepara semoga Allah ridlo dan memberkahinya. Ditunggu kedatangannya untuk sekadar foto bareng atau bancaan nampanan. Tak perlu repot membawa bingkisan macam-macam, kalo ada buku-buku pelajaran yang masih layak digunakan Qoni’a Jepara sangat berbahagia menerimanya. Dan yang tak kalah pentingnya Qoni’a Jepara menunggu kelahiran saudara-saudaranya di luar kota, meskipun dengan jalur yang berbeda. Supaya jalinan silaturahim kita semakin erat dengan Qoni’a. (Dian Afri)
read more

Jumat, 05 Juli 2013

Selamat, untuk PAGI

Pagi
Hai pagi
Selamat pagi
Pagi yang ku nikmati
Pagi yang tak mau kusesali
Dalam pagi aku meniti, mencari
Sebuah makna dari kalam illahi rabbi
Tentang amanah menjadi kholifah bumi
Ini pagi bagian sejarah perjalanan zaman
Pagi dengan latar cahaya keemasan
Seperti halnya sebuah  perhiasan
Ini bukanlah slogan iklan
Apalagi gombalan
Suatu pujian
Anugerah
Tuhan

Kembali aku meniti dan mencari dalam pagi
Untuk memaknai amanah kholifah di bumi
Bukan berarti hanya sekadar untuk gengsi
Tetapi lebih untuk budi pekerti dan jati diri
Untuk memerankan skenario  illahi rabbi
Eee
Ide cerita yang belum pernah kuketahui
Sebelum pagi menghampiri untuk terjadi
Menuju siang yang kala pagi tak kukenali
Dan mengintip senja yang masih fifti-fifti
Illahi anta maqsudii waridloka mathlubi
Dalam skenario pagi sampai senja nanti
read more